“Aduh, tugas di organisasi ini rasanya kok ga
selesai-selesai ya, bisa gila aku kalau tiap hari gini terus!”,
“Capek banget dah hidup di dunia ini, banyak banget masalah
setiap harinya! Arghh!!!”,
“Hidup ini ga adil!!! Aku udah
capek-capek belajar kok nilaiku cuma dapet AB, dia malah santai-santai aja
dapet A!”,
“Gausah ngomongin investasi deh, uang kiriman aja tiap
tengah bulan udah habis! Aku mah apa atuh re, kirimanku kan ga sebanyak kamu!”.
Hampir setiap hari, ada saja yang mengeluh seperti itu di
sekeliling saya. Seakan-akan mereka yang mengeluh itu berpikir jika mereka
mengeluhkan masalah-masalah yang mereka alami saat itu, maka masalah itu akan
pergi dengan sendirinya. Padahal malaikat ada di sisi kanan kiri untuk mencatat
kebaikan dan keburukan kita, bukan untuk mencatat keluhan kita!
Oiya, postingan ini sendiri sebenarnya adalah lanjutan dari kebijaksanaan minggu ke-9: Mengeluh. Namun penyebab tema ini saya angkat lagi adalah buku “Tidak Ada yang Tidak Bisa” oleh Dahlan Iskan. Buku ini menjelaskan dengan detail perjalanan seorang
Tionghoa yang sekarang bernama Karmaka Surjaudaja, lengkap mulai dari senang,
sedih, canda, dan haru yang menyelimuti semua perjalanan dahsyat laki-laki yang
sekarang menjadi Chairman di bank NISP tersebut.
Cerita dimulai dengan pertemuan Dahlan Iskan dengan Karmaka
yang terjadi 3 bulan setelah menjalani transplantasi hati, sekitar akhir
November 2007 yang berujung kepada pemberian nasihat oleh pak Karmaka kepada
Dahlan karena memang pak Karmaka sendiri sudah lebih dulu menjalani
transplantasi hati, transplantasi ginjal, lalu sekali lagi transplantasi ginjal
untuk yang kedua kalinya. Dari situ Dahlan mengetahui bahwa ternyata kisah pak
Karmaka sendiri adalah sebuah kisah yang sangat dramatis, yang menjadi tidak
fair kalau pengalaman hidup Dahlan diterbitkan sebagai buku namun Karmaka
tidak.(sumber: hal xiii,xiv)
Mulai dari sini, cerita dengan sangat detail menjelaskan
kisah hidup Karmaka, mulai dari usianya yang 10 bulan dia sudah mengalami
cobaan yang cukup berat, yang diakibatkan oleh ibunya yang harus berlayar
mengarungi Laut China Selatan menuju negeri jauh yang di kemudian hari diketahi
bernama Indonesia. “xia nan yang” adalah istilah yang dipakai orang Tiongkok
yang ingin berlayar menuju tanah harapan baru di seluruh Asia Tenggara. Adapun
mengapa perjalanan itu harus dilakukan adalah karena sang ibu ingin menyusul
suaminya, atau bapak dari Karmaka yang bernama Kwee Tjie Kui yang sudah dua
tahun lebih dulu meninggalkan Hokja, Provinsi Fujan, Tiongkok.(sumber: hal 6)
Ketika Karmaka anak-anak, dia kehilangan kesempatan untuk
masuk taman kanak-kanak karena jarak Cibereum-Bandung yang cukup jauh untuk
ukuran tahun itu. Dan karena itu biaya pulang perginya akan menjadi mahal.
Bayangkan, pada jaman dulu saja mereka sudah menerapkan hidup hemat, terutama dari segi kendaraan. Sehingga akhirnya dia belajar dirumah, yang pastinya ilmu yang
diajarkan ibunya sama dengan di sekolah, karena ibunya juga seorang guru. Yang
di kemudian hari diketahui karena ketika Karmaka bisa sekolah dia bisa langsung
memulai di kelas 3 SD, dan lagi-lagi pemilihan SD yang didatangi Karmaka
bukanlah SD tempat bapaknya menjadi kepala sekolah, melainkan karena lebih
dekat, dan cukup jalan kaki saja untuk mencapainya.(sumber: hal 13,14)
Kehidupan Karmaka berlanjut dengan lika likunya yang
pastinya sangat berat jika dibandingkan dengan lika liku kehidupan yang saya
alami, namun dia menjalaninya dengan bahagia dan sesemangat mungkin, bahkan dia
sempat mengalah untuk tidak kuliah demi adiknya yang ingin menekuni dunia
kedokteran. Untuk menutupi biaya kuliah adiknya dia bekerja pagi sebagai guru,
siang kerja pabrik, dan malam memberi les! Adakah diantara kita yang seperti
dia sejauh ini? Saya rasa tidak.(sumber: hal 21,27,33)
Cerita kita skip sampai akhirnya dia menikah dengan Lim Kwei
Ing, yang pastinya tidak berjalan dengan mulus-mulus saja, maksud saya disini bahwa
untuk menikahi gadis ini ternyata Karmaka harus membuat pengorbanan yang cukup
besar, yaitu membuat kesempatan mendapatkan Mobil, Rumah, dan bahkan Jabatan!
Sudah 2 kali dia ditawari hal yang serupa, namun hatinya kukuh untuk menikahi
murid yang diajarinya les pada saat itu. Adapun Lim Kwei Ing masih SMP ketika
Karmaka yang berumur 24 tahun sudah melihatnya sebagai gadis yang istimewa.(Sumber:
hal 47,51)
Mulai dari sinilah Karmaka dikenalkan dengan Bank NISP,
karena kebetulan pemiliki bank itu adalah mertua Karmaka sendiri, yang pada
saat itu mertua sedang berada di Tiongkok dan tidak bisa pulang akibat penipuan
yang dilakukan oleh teman-temannya. Mulai dari halaman 61 sampai 183 berfokus
kepada detail perjalanan Karmaka dalam menyelamatkan NISP, yang kalau saya
bilang merupakan inti dari buku ini tersendiri. Beberapa kali saya menangis
terisak membaca betapa keras perjuangan Karmaka sampai akhirnya dia mencoba
bunuh diri yang untungnya gagal akibat dia ditemukan istrinya ketika dia dalam
keadaan pingsan, dan tidak jarang dia marah semarah-marahnya atas kecurangan
dan penipuan yang dilakukan orang-orang sekitarnya.
Penderitaan yang dialami Karmaka selama hidupnya tidak
berlalu begitu saja, di usianya ke 44 tahun, dia dinyatakan terkena sirosis
liver, yang berarti dia hanya punya waktu hidup 5 tahun lagi! Yang sebenarnya
hal ini juga yang membuat Karmaka mengambil berbagai tindakan strategis untuk
NISP kedepannya, yakni dengan menghitung sedetail mungkin waktu anak-anaknya
untuk sekolah keluar negeri dan selesai dalam jangka waktu 5 tahun sehingga
bisa menggantikan posisinya untuk mengawasi NISP.(sumber: hal 194,202,208)
Ya, bisa ditebak ternyata dia meninggal atau tidak kan?
Kalau dia sudah meninggal gada buku ini pastinya. Jadi ternyata 30 tahun
setelah dia divonis dia masih bertahan hidup dengan berbagai pengobatan alami
yang dilakukan, seperti Qi Gong dan Tai Qi Chuan yang dilakukan secara
disiplin. Dan juga pulang-pergi Tiongkok untuk berobat.(sumber: hal 207,210)
Sampailah pada akhir perjalanan, dan ketika kita mengenang
semua perjalanan yang dialami oleh Karmaka, rasanya tidak layak jika kita, terutama
saya untuk mengeluh bahkan sedikit saja mengenai kerasnya hidup yang telah dilalui.
Jujur saja, saya merasa malu dan kecil, karena saya tidak sehebat dia, namun jika dilihat dari sisi positifnya, kini saya tahu bahwa kehidupan yang saya
miliki sudah jauh lebih baik daripada pak Karmaka ini sendiri. Makanan dengan
mudah bisa dicari, pakaian sudah tersedia di lemari, uang kiriman selalu datang
setiap bulan, sekolah sampai sekarang(kuliah) selalu disubsidi orang tua,
kesehatan terjaga, dan masih banyak lagi. Sehingga dengan ini saya ingin
menutup artikel ini dengan satu kata yang mungkin bisa menjadi pemotivasi kita
ketika kita dalam keadaan sulit, yaitu:
“Maka nikmat Tuhan yang mana lagi yang kita keluhkan?”
Sekian dan terima kasih J