Friday, April 29, 2016

Maka nikmat Tuhan yang mana lagi yang kita keluhkan?

“Aduh, tugas di organisasi ini rasanya kok ga selesai-selesai ya, bisa gila aku kalau tiap hari gini terus!”,
“Capek banget dah hidup di dunia ini, banyak banget masalah setiap harinya! Arghh!!!”,
Hidup ini ga adil!!! Aku udah capek-capek belajar kok nilaiku cuma dapet AB, dia malah santai-santai aja dapet A!”,
“Gausah ngomongin investasi deh, uang kiriman aja tiap tengah bulan udah habis! Aku mah apa atuh re, kirimanku kan ga sebanyak kamu!”.
Hampir setiap hari, ada saja yang mengeluh seperti itu di sekeliling saya. Seakan-akan mereka yang mengeluh itu berpikir jika mereka mengeluhkan masalah-masalah yang mereka alami saat itu, maka masalah itu akan pergi dengan sendirinya. Padahal malaikat ada di sisi kanan kiri untuk mencatat kebaikan dan keburukan kita, bukan untuk mencatat keluhan kita!
Oiya, postingan ini sendiri sebenarnya adalah lanjutan dari kebijaksanaan minggu ke-9: Mengeluh. Namun penyebab tema ini saya angkat lagi adalah buku Tidak Ada yang Tidak Bisa” oleh Dahlan Iskan. Buku ini menjelaskan dengan detail perjalanan seorang Tionghoa yang sekarang bernama Karmaka Surjaudaja, lengkap mulai dari senang, sedih, canda, dan haru yang menyelimuti semua perjalanan dahsyat laki-laki yang sekarang menjadi Chairman di bank NISP tersebut.
Cerita dimulai dengan pertemuan Dahlan Iskan dengan Karmaka yang terjadi 3 bulan setelah menjalani transplantasi hati, sekitar akhir November 2007 yang berujung kepada pemberian nasihat oleh pak Karmaka kepada Dahlan karena memang pak Karmaka sendiri sudah lebih dulu menjalani transplantasi hati, transplantasi ginjal, lalu sekali lagi transplantasi ginjal untuk yang kedua kalinya. Dari situ Dahlan mengetahui bahwa ternyata kisah pak Karmaka sendiri adalah sebuah kisah yang sangat dramatis, yang menjadi tidak fair kalau pengalaman hidup Dahlan diterbitkan sebagai buku namun Karmaka tidak.(sumber: hal xiii,xiv)
Mulai dari sini, cerita dengan sangat detail menjelaskan kisah hidup Karmaka, mulai dari usianya yang 10 bulan dia sudah mengalami cobaan yang cukup berat, yang diakibatkan oleh ibunya yang harus berlayar mengarungi Laut China Selatan menuju negeri jauh yang di kemudian hari diketahi bernama Indonesia. “xia nan yang” adalah istilah yang dipakai orang Tiongkok yang ingin berlayar menuju tanah harapan baru di seluruh Asia Tenggara. Adapun mengapa perjalanan itu harus dilakukan adalah karena sang ibu ingin menyusul suaminya, atau bapak dari Karmaka yang bernama Kwee Tjie Kui yang sudah dua tahun lebih dulu meninggalkan Hokja, Provinsi Fujan, Tiongkok.(sumber: hal 6)
Ketika Karmaka anak-anak, dia kehilangan kesempatan untuk masuk taman kanak-kanak karena jarak Cibereum-Bandung yang cukup jauh untuk ukuran tahun itu. Dan karena itu biaya pulang perginya akan menjadi mahal. Bayangkan, pada jaman dulu saja mereka sudah menerapkan hidup hemat, terutama dari segi kendaraan. Sehingga akhirnya dia belajar dirumah, yang pastinya ilmu yang diajarkan ibunya sama dengan di sekolah, karena ibunya juga seorang guru. Yang di kemudian hari diketahui karena ketika Karmaka bisa sekolah dia bisa langsung memulai di kelas 3 SD, dan lagi-lagi pemilihan SD yang didatangi Karmaka bukanlah SD tempat bapaknya menjadi kepala sekolah, melainkan karena lebih dekat, dan cukup jalan kaki saja untuk mencapainya.(sumber: hal 13,14)
Kehidupan Karmaka berlanjut dengan lika likunya yang pastinya sangat berat jika dibandingkan dengan lika liku kehidupan yang saya alami, namun dia menjalaninya dengan bahagia dan sesemangat mungkin, bahkan dia sempat mengalah untuk tidak kuliah demi adiknya yang ingin menekuni dunia kedokteran. Untuk menutupi biaya kuliah adiknya dia bekerja pagi sebagai guru, siang kerja pabrik, dan malam memberi les! Adakah diantara kita yang seperti dia sejauh ini? Saya rasa tidak.(sumber: hal 21,27,33)
Cerita kita skip sampai akhirnya dia menikah dengan Lim Kwei Ing, yang pastinya tidak berjalan dengan mulus-mulus saja, maksud saya disini bahwa untuk menikahi gadis ini ternyata Karmaka harus membuat pengorbanan yang cukup besar, yaitu membuat kesempatan mendapatkan Mobil, Rumah, dan bahkan Jabatan! Sudah 2 kali dia ditawari hal yang serupa, namun hatinya kukuh untuk menikahi murid yang diajarinya les pada saat itu. Adapun Lim Kwei Ing masih SMP ketika Karmaka yang berumur 24 tahun sudah melihatnya sebagai gadis yang istimewa.(Sumber: hal 47,51)
Mulai dari sinilah Karmaka dikenalkan dengan Bank NISP, karena kebetulan pemiliki bank itu adalah mertua Karmaka sendiri, yang pada saat itu mertua sedang berada di Tiongkok dan tidak bisa pulang akibat penipuan yang dilakukan oleh teman-temannya. Mulai dari halaman 61 sampai 183 berfokus kepada detail perjalanan Karmaka dalam menyelamatkan NISP, yang kalau saya bilang merupakan inti dari buku ini tersendiri. Beberapa kali saya menangis terisak membaca betapa keras perjuangan Karmaka sampai akhirnya dia mencoba bunuh diri yang untungnya gagal akibat dia ditemukan istrinya ketika dia dalam keadaan pingsan, dan tidak jarang dia marah semarah-marahnya atas kecurangan dan penipuan yang dilakukan orang-orang sekitarnya.
Penderitaan yang dialami Karmaka selama hidupnya tidak berlalu begitu saja, di usianya ke 44 tahun, dia dinyatakan terkena sirosis liver, yang berarti dia hanya punya waktu hidup 5 tahun lagi! Yang sebenarnya hal ini juga yang membuat Karmaka mengambil berbagai tindakan strategis untuk NISP kedepannya, yakni dengan menghitung sedetail mungkin waktu anak-anaknya untuk sekolah keluar negeri dan selesai dalam jangka waktu 5 tahun sehingga bisa menggantikan posisinya untuk mengawasi NISP.(sumber: hal 194,202,208)
Ya, bisa ditebak ternyata dia meninggal atau tidak kan? Kalau dia sudah meninggal gada buku ini pastinya. Jadi ternyata 30 tahun setelah dia divonis dia masih bertahan hidup dengan berbagai pengobatan alami yang dilakukan, seperti Qi Gong dan Tai Qi Chuan yang dilakukan secara disiplin. Dan juga pulang-pergi Tiongkok untuk berobat.(sumber: hal 207,210)
Sampailah pada akhir perjalanan, dan ketika kita mengenang semua perjalanan yang dialami oleh Karmaka, rasanya tidak layak jika kita, terutama saya untuk mengeluh bahkan sedikit saja mengenai kerasnya hidup yang telah dilalui. Jujur saja, saya merasa malu dan kecil, karena saya tidak sehebat dia, namun jika dilihat dari sisi positifnya, kini saya tahu bahwa kehidupan yang saya miliki sudah jauh lebih baik daripada pak Karmaka ini sendiri. Makanan dengan mudah bisa dicari, pakaian sudah tersedia di lemari, uang kiriman selalu datang setiap bulan, sekolah sampai sekarang(kuliah) selalu disubsidi orang tua, kesehatan terjaga, dan masih banyak lagi. Sehingga dengan ini saya ingin menutup artikel ini dengan satu kata yang mungkin bisa menjadi pemotivasi kita ketika kita dalam keadaan sulit, yaitu:
“Maka nikmat Tuhan yang mana lagi yang kita keluhkan?”

Sekian dan terima kasih J

No comments:

Post a Comment